Posted in Keluarga

Bekal, Setangkup Cinta Dari Mama

Mama saya itu kalau mau bepergian agak jauh pasti mempersiapkan bekal makanan untuk di jalan. Biasanya Mama membuat arem-arem untuk teman perjalanan. Sehari sebelum pergi, Mama pasti ke pasar membeli bahan untuk membuat arem-arem, tak lupa Mama membeli teman makan arem-arem, yaitu keripik tempe. Sampai di rumah Mama sibuk membuat arem-arem di dapur. Atau Mama membuat nasi timbel (nasi putih yang dibungkus daun pisang, ini khasnya orang Sunda). Nasi timbel beserta lauk pauknya (goreng tahu/tempe, ayam, lalap, sambel), ditata rapi di dalam rantang stainles steel .

Dulu waktu saya masih kecil, saya ingat sekali Mama juga pasti membawa bekal kalau kami sekeluarga menghabiskan akhir pekan jalan-jalan ke Alun-alun Bandung (dulu rumah kami di Cimahi). Menaiki mobil dinas Toyota kanvas, kami berangkat dari rumah ba’da dzuhur nanti sampai di Alun-alun Bandung, mobil di parkir di dekat Mesjid Agung. Setelah shalat ashar kami jalan-jalan di Matahari Mall (sekarang sudah tidak ada). Makan malam di mobil, makan bekal yang Mama buat dari rumah. Setelah makan, kami berjalan-jalan menikmati suasana malam Minggu di sana.

Pernah suatu kali saat itu salah satu restoran ayam goreng franchise dari Amerika baru buka di Bandung, lokasinya di dekat Alun-alun (ketahuan ya berapa usia saya 😉). Semua orang Bandung dan sekitarnya berbondong-bondong datang untuk mencicipi makan ayam goreng crispy ala Amerika itu. Maklum namanya juga hal yang baru dan berbau luar negeri, semua orang merasa penasaran. Sampai-sampai di sekolah saya katanya kalau belum mencoba makan ayam goreng itu dibilang kampungan 😑😑😑. Teman-teman saya hampir semua sudah mencicipi ayam goreng ala Amerika itu. Kayaknya tinggal saya yang belum. Jadi saya dibilang anak yang kampungan oleh teman-teman. Saya pun merengek pada Mama dan Bapak ingin mencoba makan di tempat itu. 

Sebetulnya kami hampir setiap Minggu ke Alun-alun Bandung, tapi kami tidak pernah masuk ke restoran itu. Karena kami selalu makan bekal buatan Mama. Sudah hampir dua bulan lamanya sejak pertama kali restoran ayam Amerika itu dibuka, saya belum pernah sekalipun mencobanya. Label kampungan pun lekat menempel pada saya. Saya hanya bengong ketika hampir semua teman-teman membicarakan hal ini 😥😥😥. Karena merasa tertekan saya pun merengek kepada Bapak ingin mencoba makan di restoran itu. 

Waktu itu kondisi ekonomi keluarga kami sangat pas-pasan. Bapak adalah seorang perwira menengah TNI yang hidupnya murni dari gaji yang ia terima setiap bulan dari negara. Itulah kenapa untuk menyenangkan keluarga ia harus pandai-pandai mengatur keuangan, salah satunya dengan selalu membawa bekal makanan ketika bepergian. Bapak bukannya tidak mau menyenangkan istri dan anak-anaknya, tapi keadaan lah yang membuatnya harus demikian.

Keinginan saya tidak dituruti oleh Bapak dan Mama 😥😥😥. Tapi saya terus menerus merengek tidak mau tahu. Sampai akhirnya Bapak mengabulkan keinginan saya. Suatu hari di akhir pekan seperti biasa kami jalan-jalan ke Alun-alun Bandung. Mama tetap membawa bekal makanan. Saya diantar oleh mereka masuk ke restoran ayam Amerika itu. Suasananya sangat ramai antriannya panjang. Tiba di depan kasir, Bapak menyuruh saya memilih menu. Saya pesan paket ayam, kentang goreng beserta minuman softdrink. Bapak membeli dua paket untuk saya satu untuk adik saya satu. Kemudian kami duduk dan makan ayam goreng ala Amerika untuk yang pertama kalinya seumur hidup. 

Mata saya berbinar-binar bahagia akhirnya saya bisa seperti teman-teman saya merasakan makanan yang sedang dibicarakan orang dimana-mana, akhirnya saya terlepas dari label kampungan. 

Saya makan berdua saja dengan adik, sementara Bapak dan Mama hanya menonton kami. Ada perasaan yang kurang di hati saya. Biasanya kita makan bersama-sama di dalam mobil, makan makanan bekal buatan Mama. Meskipun menunya tidak secanggih ayam goreng ala Amerika ini, tapi rasanya nikmat sekali. Saya melihat sorot bahagia di mata Bapak dan Mama saat itu, mungkin mereka merasa senang bisa mengobati rasa penasaran anak-anaknya. Tapi ada rasa sedih di hati saya pasti mereka telah bersusah payah menyisihkan uang untuk menyenangkan anaknya. 

Ternyata rasa ayam goreng Amerika ini tidak sedahsyat iklannya dan omongan orang-orang. Rasanya biasa saja, cuma ayam dibalut tepung lalu digoreng, dimakan bersama kentang goreng dan ditemani oleh minuman soda. Tidak ada yang istimewa.

Sejak saat itu saya merasa tidak enak hati dan tidak pernah lagi menuntut ini itu pada Bapak dan Mama.

Kembali ke persoalan bekal makanan. Sampai akhirnya ekonomi keluarga kami membaik dan berkecukupan, Mama masih suka membawa bekal makanan jika kami bepergian, sama seperti dahulu. Alasannya sederhana, kalau membawa bekal makanan tentu lebih sehat dan hemat. Selain itu kalau di perjalanan terjebak macet, tidak akan kelaparan karena ada bekal makanan.

Kadang-kadang saya suka songong. Mentang-mentang saya sudah mapan dan punya uang sendiri, kalau bepergian saya lebih suka jajan  ketimbang membawa bekal makanan. Apalagi kan sedang nge-trend mencoba kuliner. Rasanya gaya gitu kalau bisa mencicipi makanan di restoran-restoran dan meninggalkan jejaknya pada akun media sosial. Ditambah lagi saya malas sekali repot-repot harus masak makanan untuk bekal, ribet.

Suatu hari saya melihat Mama sedang di dapur sibuk dengan tumpukan daun pisang serta sepanci besar beras setengah tanak dan daging cincang yang sudah ditumis dengan wortel. Mama sedang membuat arem-arem. Esok hari kami sekeluarga ada rencana pergi menengok rumah yang di Jakarta. Sambil membantu Mama membungkus arem-arem, saya menyindir Mama. 

“Ngapain sih ribet amat bikin arem-arem segala, di sana banyak restoran terkenal yang enak-enak dan kekinian, kita makan aja di sana.” 

Mama diam saja mendengar sindiran saya sambil meneruska membungkus arem-arem. Mungkin Mama kesal mendengar perkataan saya. Akhirnya Mama bilang, “Yang protes nanti di sana nggak boleh nyicipin arem-arem ya!”

Keesokan paginya kami berangkat ke Jakarta. Sampai di sana, setelah urusan beres kami shalat dzuhur di mesjid komplek. Selesai shalat dzuhur, kami kembali ke mobil. Mama mulai mengeluarkan bekal arem-aremnya. Yang ada di dalam mobil (Bapak, adik, ipar dan anak-anak kami) rebutan ingin makan arem-arem buatan Mama. Saya pun tak ketinggalan meminta. 

Lalu Mama sambil tertawa, “Lah, yang kemarin protes  pas bantuin bikin arem-arem kan nggak boleh nyicipin.”

Mana tahan saya kalau tidak bisa ikut makan arem-arem buatan Mama. Arem-arem buatan Mama itu rasanya enakkkk sekali.

“Hehehe….iya Ma, maaf ya kemarin sampai ngomong begitu”, sambung saya sambil malu.

Tentu saja Mama ngomong begitu cuma bercanda. Saya diperbolehkan kok makan arem-aremnya.

Sekarang kebiasaan membawa bekal makanan menurun juga pada saya. Saya jadi rajin membawa bekal kalau mau pergi-pergi. Dan sebelum subuh setiap hari saya juga berjibaku di dapur menyiapkan bekal makan siang untuk pak suami dan anak-anak.

Bukan sekedar untuk penghematan, ternyata membawa bekal makanan itu bisa menjadi kenangan yang sangat berkesan dan tak terlupakan seumur hidup. Karena di dalam bekal yang disiapkan oleh seorang Mama selalu terselip rasa cinta dan doa.

Author:

seorang ibu, suka membaca,menulis, jalan-jalan, mencoba berbagai kuliner, olah raga, dan sangat mendukung pemberian ASI eksklusif serta penggunaan obat secara rasional /RUM (Rational Use of Medicine)

30 thoughts on “Bekal, Setangkup Cinta Dari Mama

  1. Terharu sekali baca tulisan ini. Jadi kangen dengan Ibu karena sudah 1.5 tahun tidak ketemu. Ibu juga sama, kalau bepergian selalu bawa bekal sendiri. Karenanya aku dan adik2 selalu suka kalau kami bepergian karena bisa makan bersama2 bekal yg dibuat istimewa oleh Ibu. Masih ingat kalau ke Jakarta naik kereta ekonomi, kami makan nasi bungkus yang dipersiapkan Ibu. Aku sekarang juga akhirnya terbiasa masak untuk bekal suami dan aku sendiri ke kantor. Untungnya suami ga rewel, mau apa saja makanan Indonesia. Bahkan dia suka disirikin teman2 kantornya karena bekalnya selalu bervariasi. Sementara teman2nya makan siang dengan roti hehe.

    Like

  2. Ceritanya bikin sedih dan senyum-senyum, sedih karena aku udah lama ga makan masakan mama, senyum2 krn dulu pas kecil juga aku sering ngerengek2 mpe kemauannya diturutin, skrg udah gede jadi ngerti juga, mungkin klo aku jd ortu juga bakal gitu.

    Like

  3. Klo orang jaman dulu rata2 memang suka bawa bekal sendiri. Juga karena lebih jago masak. Kan dulu kuliner nggak kayak sekarang. Ibu saya juga gitu. Sejak kecil kalau rekreasi selalu bawa bekal sendiri. Tapi ibu juga udah berubah ngikutin trend. Sudah sering beli 2 makanan dari luar ha ha ha……

    Like

  4. memang masakan paling enak, berkesan dan ngangenin itu masakan ibu ya mbak.. saya sudah 12 tahun nggak makan masakan ibu *rahimahallah*, hiks,, curcol

    Like

  5. dulu ya mbak, aku sama kayak kamu.. selalu dibawain bekal ama mama kalo ke sekolah.. sampe lama2 boseeen banget.. bekal ttp dibawa, tp disekolah malah aku ksh k temen, ato kdg ga disentuh.. akunya ya tetep jajan.. tapi stlh merantau pas smu, trs kuliah makin jauh, apalagi skr udh nikah lebih jauh, malah jd seriiiiiing banget inget rasa masakan mama.. malah kdg kalo mama mau ke jkt, aku pasti minta dibawain makanan saking kangennya :).. heran yaaa… pas anak2 dulu nth kenapa makanan bekal dari ortu g pernah nampak menarik.. nyeselnya pas udh besar

    Like

Terima kasih ^_^