Posted in Fiksi

Apa


Di terminal Cicaheum Bandung. 

Jarum pada jam tanganku menunjukkan pukul 11 siang. Kernet angkot berteriak-teriak “Caheum…Caheum..”, setengah badannya berada di dalam angkot dan setengahnya lagi di luar, tangannya melambai-lambai ke luar angkot. 

“Kiri-kiri,” aku meminta sopir menghentikan mobilnya, kemudian aku beranjak turun dan menyerahkan beberapa lembar uang seribuan pada sopir angkot jurusan Kebon Kelapa-Cicaheum yang telah mengantarkan aku dari rumah Bibi di daerah Kebon Gedang Kiaracondong.

Siang itu sinar matahari cukup terik, udara di terminal Cicaheum terasa panas. Untungnya hari ini bukan akhir pekan, terminal agak lengang sehingga aku tidak usah berdesakan dengan calon penumpang lain. Bis – bis dalam dan antar kota parkir memenuhi terminal, berbaris sesuai dengan jurusannya masing-masing. 

Sambil menggendong sebuah ransel coklat, aku mencari-cari sebuah  mini bis jurusan Bandung-Buah Dua Sumedang. Bis ini jumlahnya hanya sedikit dan berangkat dengan jadwal yang sudah ditentukan. Tanpa perlu bersusah payah, akhirnya aku menemukan bis yang aku cari. Bisnya masih kosong, karena baru akan berangkat pada pukul satu siang. Aku masuk ke dalam bis dan mencari tempat duduk di pojok depan. Sementara kernet bis masih di luar mencari calon penumpang.

Aku buka jendela yang ada di samping tempat dudukku, semilir angin masuk ke dalam bis yang tidak ada AC-nya ini. Aku menatap keluar jendela, sesekali kurapihkan lagi kerudung segi empat yang sedang aku pakai. Kerudung yang aku pakai ini kugunakan sekalian untuk menutupi wajahku yang sembab dan untuk menyeka air mataku yang masih saja menetes. Kemarin lusa Bibi memberi kabar kalau Amih di Sumedang memintaku untuk segera pulang karena Apa sakit keras.

Apa adalah sebutan bapak yang biasa digunakan oleh orang Sunda. Aku tidak habis pikir, kenapa Amih harus repot-repot mengurus Apa yang kabarnya sudah seminggu ini sakit keras. Kenapa bukan perempuan jalang yang merebut Apa dari kami sekeluarga saja yang mengurusnya? Air mataku mulai menetes lagi, kenangan kelam lima tahun yang lalu membuat aku menjadi muak dan benci pada Apa. 

Lima tahun yang lalu kebahagiaan keluarga kami terkoyak-koyak hancur berantakan. Apa yang seorang mantri kesehatan di sebuah puskesmas di desa Conggeang Sumedang berselingkuh dengan seorang janda beranak tiga. Perempuan biadab itu tidak saja merebut Apa dari Amih, tapi dia berusaha memisahkan Apa dengan kami anak-anaknya. Banyak tetangga di desa bilang pada Amih, sepertinya Apa kena pelet si janda kembang. Tetapi Amih tidak mau percaya omongan orang, ia tetap lembut dan sabar terhadap Apa demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. 

Sayangnya Apa saat itu sudah gelap mata kepada kami. Setiap hari Apa semakin jarang pulang ke rumah, bahkan pernah sebulan penuh Apa tidak pulang sama sekali. Apa semakin tidak menghargai Amih, kelakuannya sering kali kasar di depan kami anak-anaknya. Aku sebagai anak tertua, sering protes kepada Apa dan berusaha melindungi Amih dari amarah Apa. Bukannya sadar dengan kelakuannya, Apa malah balas memarahi aku, dan luka di pelipisku ini adalah salah satu kenangan pahit dari Apa.

Saat itu aku duduk di kelas 3 SMP, suatu siang sepulang sekolah, aku dapati Amih sendirian duduk di pojokan dapur sedang  menangis. Pipi Amih terlihat merah seperti habis dipukul. Amih saat itu tidak mau mengaku kalau habis ditampar oleh Apa.

Setelah agak tenang, akhirnya Amih bercerita padaku, “ Udah sebulan ini Apa nggak kasih uang belanja untuk kebutuhan kita sekeluarga. Tadi Apa pulang sebentar untuk makan siang. Amih coba minta uang untuk belanja, bukannya ngasih uang Apa langsung marah-marah ke Amih dan menampar Amih keras sekali,” kata Amih sambil terisak.

Aku terkejut dan sakit hati mendengarnya. Aku peluk erat Amih sambil ku elus-elus punggungnya, kurapihkan rambutnya yang saat itu acak-acakan. Aku menyeka air matanya dengan lembut.

“Pipi Amih dikompres air dingin ya, supaya nggak terlalu bengkak,” kataku penuh sayang kepada Amih. Lalu aku ke kamar, mengambil handuk kecil merendamnya dalam air es , aku kompres pipi Amih dengan handuk dingin itu.

Amih tersenyum padaku, “Terima kasih Teh.”

Aku ambilkan air minum hangat, “Amih minum dulu ya.”

Amih tersenyum lagi padaku, dari matanya kulihat sudah tidak ada lagi rasa sedih dan ketakutan.

Sore harinya,  Apa  pulang dari puskesmas dan mampir ke rumah. Aku lihat Apa sedang asyik nonton tv di ruang tengah, aku dekati Apa sambil membawakan secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng buatan Amih untuk cemilan sore Apa. Aku masih menyimpan rasa marah atas perlakuan Apa tadi siang kepada Amih, aku pikir ini saatnya yang tepat untuk menegur Apa.

“Apa punten, tadi siang pulang sekolah Wirda lihat Amih nangis di dapur, dan pipinya merah sekali, katanya habis dipukul sama Apa, kenapa Apa mukul Amih?” tanyaku penuh emosi.

Apa yang saat itu sedang menyeruput teh hangatnya, tiba-tiba berhenti dan melihatku dengan mata melotot, “Kamu nggak usah ikut campur, ini urusan Apa dengan Amih!” ujarnya kasar.

Aku semakin tersulut emosi, tidak terima dengan kelakuannya “Ini urusan saya juga Apa!! Jangan berani-berani mukulin Amih, Apa harusnya sadar udah nggak perhatian lagi sama kita, nggak ngasih uang belanja ke Amih, jarang pulang, gara-gara Apa selingkuh ya sama perempuan itu?!” aku berteriak kepada Apa.

Saat itu Apa langsung berdiri sambil masih memegang cangkir teh, tanpa kuduga tangan Apa yang satunya lagi mencekik leherku, aku yang saat itu berdiri dekat Apa tidak bisa melawan.

Apa mendorongku ke tembok, spontan aku berteriak “Tolong!!”

Amih lari tergopoh-gopoh dari dapur, berusaha menolongku, tapi terlambat….Apa membanting cangkirnya ke arahku dan mengenai pelipisku. Amih lalu menghalangi aku dari Apa,“Teteh, lari keluar Teh…lari!!!”

Aku segera lari keluar, ke rumah tetangga sebelah meminta pertolongan. Tanpa aku sadari, pelipisku mengeluarkan banyak darah dan beberapa detik kemudian aku pingsan.

Tetangga sebelah yang menolong aku dan Amih dari amukan Apa sore itu. Setelah kejadian itu Apa pergi dari rumah dan tidak kembali. Kata tetangga, Apa sudah menikahi perempuan itu dan sekarang tinggal di rumahnya. Sedangkan Amih tidak diceraikannya. Setiap bulan Amih hanya diberi uang sekedarnya. 

Herannya Amih juga tidak meminta cerai kepada Apa. Amih memilih bertahan, demi anak-anak katanya. 

Kadang-kadang Apa masih datang ke rumah kami tapi jarang sekali, Amih masih menerima Apa seperti tidak pernah ada kejadian apa-apa sebelumnya. 

Sejak saat itu, kehidupan kami berubah seratus delapan puluh derajat. Amih yang hanya ibu rumah tangga harus menghidupi aku dan kedua adikku dengan berjualan kue setiap hari. Untungnya Amih pintar masak, dia juga membuka warung nasi di depan rumah. Kue dan masakan buatan Amih rasanya enak, banyak tetangga yang menjadi pelanggan setia Amih.

Saat itu aku sedang menghadapi ujian sekolah, Amih ingin aku melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Lulus SMP aku dititipkan tinggal dengan Bibi, adiknya Amih yang tinggal di Bandung. Bibi lah yang menaggung semua biaya aku sekolah di SMA. Amih hanya menyuplai satu karung beras setiap bulan untuk keluarga Bibi, tidak bisa lebih dari itu.

Bis jurusan Sumedang sudah dinyalakan mesinnya oleh sopir dan penumpangnya hampir penuh. Dari luar jendela aku meihat seorang bapak berlari-lari menuju bis. Kulihat jam tangan sudah menunjukkan pukul satu kurang tiga menit, sebentar lagi bis akan berangkat. Setelah bapak-bapak tadi masuk bis, kernet pun naik ke dalam bis, menutup pintu dan sopir bis mulai menjalankan bis keluar terminal.

Lima tahun aku berjuang di Bandung, berpisah dengan Amih dan kedua adikku yang sangat aku sayangi. Hanya sesekali saja aku pulang ke Sumedang tanah kelahiranku. Padahal jarak antara Bandung-Sumedang cukup dekat, tapi kalau uangnya pas-pasan mana bisa sering-sering bolak-balik pulang. 

Di rumah Bibi aku nyaris seperti pembantu, bangun pukul empat pagi, memasak air  dan sarapan untuk Bibi sekeluarga. Pulang sekolah, aku mengasuh empat orang anak Bibi yang masih sekolah dasar. Bibi dan Mamang keduanya pekerja  kantoran. Malam hari ketika Bibi dan Mamang sudah di rumah, aku mulai mencuci baju dan menyetrika. Disela-sela bekerja membantu Bibi, aku sempatkan untuk belajar. Aku punya cita-cita setinggi langit, aku ingin membahagiakan Amih dan kedua adikku, aku harus jadi orang hebat! 

Aku harus membantu Bibi sebagai ungkapan terima kasih karena Bibi telah bersedia menampung dan membiayai sekolahku. Padahal Bibi tidak menyuruhku, ini inisiatif ku sendiri, aku nggak mau malu-maluin Amih. 

Rasa rindu kepada Amih dan adik-adikku kulampiaskan dengan bekerja dan belajar, itu saja. Bagaimana dengan Apa? Aku sudah tidak peduli. Apa sudah kuhapus dalam hidupku, hanya luka di pelipisku ini saja yang tidak bisa hilang gara-gara kejadian waktu itu.

Satu jam setengah berlalu, bis sudah melewati daerah Cadas Pangeran yang berkelok-kelok. Mataku masih menerawang keluar jendela. Tebing terjal yang ditumbuhi belukar terpampang di sepanjang jalan. Akhirnya bis memasuki kota Sumedang. Di depan terminal Ciakar, bis berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang.

Aku belum bisa memaafkan Apa, rasa sakit hati masih saja melekat kuat di dalam dada. Sebelum Apa tergoda oleh janda kembang itu, keluarga ku sangat bahagia. 

Apa adalah sosok lelaki penyayang. Apa sangat mencintai Amih, demikian sebaliknya Amih juga sangat mencintai Apa. Aku dan adik-adikku mendapatkan curahan kasih sayang yang sangat besar dari Apa dan Amih. 

Aku tidak rela perempuan itu merebut kebahagiaan dari keluargaku. Tapi kenapa sikap Amih tidak pernah berubah terhadap Apa? Apakah Amih tidak merasakan sakit hati karena belahan jiwanya sudah direbut oleh orang lain?? Aku benar-benar tidak mengerti.

Sekarang aku diminta Amih untuk pulang menengok Apa yang sedang terbaring sakit. Kalau saja bukan Amih yang meminta, aku tidak akan sudi melihat Apa lagi.

Alun-alun kota Sumedang menyimpan banyak kenangan manis dengan Apa. Setiap awal bulan selalu ada pasar malam di samping mesjid Agung Sumedang. Apa yang baru saja menerima gaji, selalu mengajak kami jalan-jalan ke Alun-Alun. Dari Conggeang kita berlima naik vespa, aku duduk di tengah-tengah Apa dan Amih serta adik bungsu ku. Sedangkan adik ku yang tengah duduk di depan dekat kemudi. Angin sore menerpa wajah dan rambutku, Amih memeluk kami erat. 

Menjelang magrib kami sampai di Alun-alun kota Sumedang. Sambil menunggu beduk magrib, kami duduk-duduk di pelataran mesjid. Tiba waktu magrib, kami shalat berjamaah. Setelah shalat, Apa dan Amih menggandeng tangan kami memasuki pasar malam. Apa membelikan kami arum manis dan balon, kami bertiga senangnya bukan main. Lalu kami diantarnya naik berbagai macam permainan, ada kereta-keretaan, komedi putar, dan kincir angin. Apa mentraktir kami makan malam nasi goreng yang ada di depan alun-alun. Kalau adikku yang bungsu kecapekan, Apa yang akan menggendong si bungsu. Aku merasa menjadi anak yang paling bahagia sedunia saat itu.

Lamunanku tersentak ketika kernet bis berteriak-teriak “Conggeang….Conggeang….Conggeang…!!!” Sudah waktunya aku turun dari bis. 

Agak ragu aku langkahkan kaki keluar dari bis. Aku teridam sejenak, bimbang. Bis sudah kembali jalan meneruskan perjalanannya, kini aku sendiri berdiri di pinggir jalan dengan suasana hati yang sangat kacau.

Dari pinggir jalan aku melihat  kolam ikan tersebar di mana-mana. Setiap rumah di Sumedang pasti memiliki kolam ikan. Airnya jernih, di dalamnya terdapat ikan-ikan gendut yang berenang kesana kemari. Biasanya diisi ikan emas, lele dan gurame. Di depan dan belakang pekarangan rumahku juga ada kolam ikan  buatan Apa. Bibit ikan mas didapatkan dari Uyut yang tinggal di Buah Dua, tak jauh dari tempat tinggal kami. Setiap hari aku dan kedua adikku membantu Apa memberi makan ikan-ikan di dalam kolam. Saat-saat yang sangat indah, aku tersenyum sendiri mengenangnya.

Kulangkahkan kaki masuk ke gang Desa Jambu, rumahku masih masuk ke dalam kurang lebih 100 meter lagi. Bayangan Apa semakin lekat di kepalaku. Apa kini sedang terbaring kesakitan tak berdaya di rumah. Apa telah dicampakkan oleh perempuan itu setelah tahu sebetulnya Apa menderita penyakit kanker ganas. Amih lah kini yang mendampingi dan merawat Apa. Apa ingin bertemu denganku, anak perempuan yang pernah dicampakannya dahulu. 

Aku masih bimbang haruskah aku menemui dan memaafkan Apa? Entahlah. Aku melangkahkan kaki dengan perasaan hampa.

[Re-post dari blog fiksi saya]