Posted in curcol, Renungan

RUMAH

digambar oleh Raditya
Raditya

Dan….

Di mana pun rumah kita berada,  ada satu rumah yang selalu menantikan kehadiran mu.
Rumah itu ada di sini Nak, di hati Ibu dan Papa.

Rumah, apa arti sebuah rumah untuk mu?

Kamu mempunyai kesan yang mendalam dengan rumah ini. Ibu ingat empat tahun yang lalu ketika kita akan meninggalkan rumah ini. Kamu sangat sedih.

Kamu sangat sedih karena akan berpisah dengan semua memory indah yang sudah tertanam dalam kepala mu bersama rumah ini. Iya, Ibu tahu di sini kamu tumbuh dan berkembang, di sini di rumah ini. Kamu belajar banyak hal, kamu mendapatkan banyak pengalaman baru yang sangat berkesan. Yang selalu kamu ceritakan kepada kami berulang kali dengan sorot mata mu yang berbinar-binar. Ibu tahu itu adalah ungkapan rasa bahagia kamu.
Ibu ingat selama di perantauan kamu selalu sedih jika mengingat rumah ini. Hanya kamu yang memiliki perasaan seperti itu dan perasaan itu menetap di hati kamu. Kamu tuangkan kerinduan mu ke dalam tulisan yang kau goreskan pada kertas-kertas.

Kami sempat kelihangan kata-kata untuk membujuk mu agar tidak bersedih.
Lalu kami meminta mu untuk berdoa, menambatkan harapan mu pada Tuhan. Sejak saat itu kamu pun selalu berdoa, meminta kepada Sang Maha Kuasa agar kamu bisa kembali lagi ke rumah ini.
“Kapan kita kembali ke rumah itu, kapan?” tanya mu berulang-ulang pada kami. Entahlah Nak, kami pun tak tahu. Sudah, berdoa saja…berdoa…

Akhirnya doa mu terkabul Nak. Tuhan mengabulkan doa kamu, kita kembali ke rumah ini, rumah yang selalu kamu rindukan. Senyum mu mengembang, bahagia sekali kami melihatnya.

Namun senyum mu kini hilang, karena kita akan meninggalkan rumah ini (lagi) dan mungkin tidak akan kembali, entahlah kami pun tidak tahu.
Kamu mulai sedih. “Aku nggak mau pindah.”

Nak, kamu masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa manusia ditakdirkan untuk selalu bergerak dan berpindah tempat. Jangankan kamu Nak, kami saja yang sudah dewasa terkadang merasa takut dan sedih untuk berpisah dengan sesuatu yang sudah meberikan kenyamanan dan kenangan indah.

Jangan sedih ya Nak, kita pindah untuk menyongsong sesuatu yang lebih baik.
Akan ada rumah baru yang menampung kita berempat. Kita yang akan mengisinya dengan kebahagiaan.

Dan….

Di mana pun rumah kita berada, ada satu rumah yang selalu menantikan kehadiran mu.
Rumah itu ada di sini Nak, di hati Ibu dan Papa.

 

Posted in Renungan

Pak Djun

“Tak perlu mencari ketenaran untuk dapat dicintai oleh banyak orang, tak perlu lah tingkat pendidikan yang terlalu tinggi untuk dihormati. Cukup dengan ketulusan dalam menjalani apa yang seharusnya dijalani. Maka orang pun akan melihat dan merasakan kebaikan yang kita sebarkan.”

Lelaki yang berperawakan kurus dan berkulit agak gelap itu akrab dipanggil dengan Pak Djun. Usianya 60 tahun, setiap hari dari pagi sampai siang ia selalu berada di sekitar gerbang sekolah. Mengenakan seragam kemeja putih dan celana panjang serta topi berwarna biru gelap bertuliskan “SECURITY”. Ia adalah satpam di sekolah anak-anak.

Belum ada setahun saya dan anak-anak berkenalan dengan Pak Djun. Saya menitipkan anak-anak padanya ketika di sekolah. Pak Djun orang yang perhatian, setiap ada informasi yang berkaitan dengan sekolah selalu ia sampaikan pada saya. Kalau anak-anak berbuat ulah, tak segan ia ingatkan dan lapor pada saya. Sebagai orang baru di lingkungan ini, Pak Djun sangat membantu kami beradaptasi di sekolah baru.

Setiap pagi pukul sembilan saya mengantar si bungsu ke sekolah. Saya melihat Pak Djun yang selalu mengenakan topi “SECURITY”-nya sedang duduk di pos satpam, kepalanya agak tertunduk. Saya pikir ia sedang tidur, ternyata saya salah sangka. Dia bukan sedang tidur, tapi sedang membaca Al-Qur’an. Masyaallah.

Senin yang lalu di sekolah ada pemandangan yang tidak seperti biasanya. Pak Djun tidak kelihatan dari pagi sampai siang ketika anak-anak pulang sekolah. Begitu juga pada hari Selasa, ia tidak ada. Kemana gerangan Pak Djun? Ibu-ibu orang tua murid mencari tahu dimana keberadaan Pak Djun. Didapati kabar ternyata Pak Djun kena stroke dan sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Stroke menyerang Pak Djun pada hari Jumat siang di sekolah. Tak ada seorang pun yang tahu. Saat itu Pak Djun sedang sendiri, tiba-tiba ia merasa badannya tidak enak dan hampir jatuh. Beruntung ia sedang berdiri di samping tiang listrik, ia berpegangan pada tiang listrik sebentar. Lalu setelah badannya agak seimbang ia berjalan kaki pulang ke rumah. Sampai di rumah ia mengadu kepada istrinya kalau ia sedang sakit. Istrinya segera membawa Pak Djun ke dokter. Kemudian oleh dokter dirujuk ke rumah sakit dan harus menjalani rawat inap.

Mengetahui hal ini, spontan semua warga sekolah (guru-guru, murid, orang tua murid) menggalang dana untuk membantu pengobatan Pak Djun. Semua orang merasa kehilangan sosok Pak Djun. Dan kesan yang ada pada hampir semua orang tua murid tentang Pak Djun adalah kesan yang baik. Pak Djun itu orangnya amanah, nggak mata duitan, bisa dititipi anak, dia bisa menjaga anak-anak, kalau ada pak Djun rasanya tenang dan seterusnya. Berduyun-duyun ibu-ibu orang tua murid menjenguk Pak Djun di rumah sakit. Semua mendoakan kesembuhan untuk Pak Djun.

Banyak yang ingin menggantikan sementara posisi Pak Djun, namun sulit mencari orang yang benar-benar amanah dan berdedikasi pada pekerjaannya seperti Pak Djun. Pak Djun adalah contoh bagi kita semua. Tak perlu mencari ketenaran untuk dapat dicintai oleh banyak orang, tak perlu lah tingkat pendidikan yang terlalu tinggi untuk dihormati. Cukup dengan ketulusan dalam menjalani apa yang seharusnya dijalani. Maka orang pun akan melihat dan merasakan kebaikan yang kita sebarkan.

Semoga cepat sembuh Pak Djun.